Raja Ampat Diduga Terancam Dikorbankan Demi Nikel
“Indonesia Dikecam: Raja Ampat Terancam Dikorbankan Demi Nikel, ‘Amazon Laut’ Papua dalam Bahaya”
EXPOSE NET| JAKARTA – Ketika dunia tengah berpacu menuju masa depan hijau melalui kendaraan listrik, Indonesia justru menghadapi dilema besar. Demi nikel—bahan baku utama baterai listrik—salah satu ekosistem laut paling kaya di dunia, Raja Ampat, kini berada di ujung tanduk.
Raja Ampat, gugusan surga tropis di Papua Barat Daya, adalah rumah bagi 75% spesies karang dunia dan lebih dari 2.500 jenis ikan. Di daratannya, ratusan spesies mamalia dan burung endemik menjadikan wilayah ini tak tergantikan. Namun, di balik geliat industri nikel yang menjanjikan keuntungan besar, terhampar ancaman besar bagi kelestarian alam dan masyarakat adat yang menjaganya selama ribuan tahun.
Tambang Nikel dan Ancaman Nyata bagi Surga Laut
Ekspansi tambang nikel di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran telah menebas lebih dari 500 hektare hutan alami. Selain kerusakan daratan, limpasan tanah dari area pertambangan kini mencemari perairan, menyebabkan sedimentasi yang mengancam keberlangsungan terumbu karang—inti dari keanekaragaman hayati Raja Ampat.
Padahal, pulau-pulau tersebut secara hukum dilindungi oleh UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang kegiatan tambang di pulau kecil. Kenyataannya, tambang tetap berjalan. Ini menyoroti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Suara dari Timur: “Kami Bukan Penolak Pembangunan, Tapi Penolak Kehancuran”
Pada 3 Juni 2025, empat pemuda dari Raja Ampat bergabung bersama Greenpeace Indonesia dalam aksi damai di Indonesia Critical Minerals Conference di Jakarta. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan:
“What’s the True Cost of Your Nickel?”
“Save Raja Ampat from Nickel Mining.”
Salah satu dari mereka, Ronisel Mambrasar, yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, menyuarakan kegelisahannya:
“Kami bukan penolak pembangunan, tapi kami menolak kehancuran. Laut yang selama ini menghidupi kami kini terancam, dan kehidupan kami berubah menjadi penuh konflik.”
Ronisel berasal dari kampung Manyaifun dan Pulau Batang Pele, dua wilayah yang terdampak langsung. Ia menegaskan bahwa tambang telah mengubah tatanan sosial, ekonomi, hingga budaya masyarakat adat.
Menteri LH dan ESDM Buka Suara
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan akan segera mengunjungi Raja Ampat untuk melihat langsung kondisi di lapangan.
“Insyaallah dalam waktu segera saya akan berkunjung ke Raja Ampat, Kami akan segera ambil langkah hukum jika ditemukan pelanggaran,” ujarnya di Pantai Kuta, Kamis (5/6/2025).
Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga mengaku akan mengevaluasi izin usaha pertambangan (IUP), baik dari BUMN maupun swasta:
“Saya akan panggil pemilik IUP, mau BUMN atau swasta. Kita harus evaluasi,” kata Bahlil di Jakarta (3/6/2025).
Namun, belum ada kepastian kapan tindakan konkret akan dilakukan. Sekretaris Utama KLH Rosa Viven Ratnawati bahkan mengaku belum mengetahui detail analisis dampak lingkungan dari aktivitas tambang tersebut.
Di balik narasi transisi energi hijau, tersembunyi harga mahal: penghancuran salah satu kawasan ekologi terpenting di dunia dan pengabaian hak hidup masyarakat adat. Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia bisa dikenal dunia bukan sebagai pelopor energi bersih, melainkan sebagai negara yang mengorbankan “Amazon Laut”-nya demi logam nikel.
Raja Ampat bukan hanya aset nasional, tapi warisan dunia. Ekowisata dan konservasi berbasis masyarakat adalah solusi yang terbukti mendukung ekonomi lokal sekaligus menjaga lingkungan.
Transisi Energi Berkeadilan, Bukan Eksploitasi Tersembunyi
Krisis iklim global memang mendesak dunia untuk bergerak menuju energi bersih. Tapi jika caranya adalah dengan menghancurkan ekosistem dan merampas hak masyarakat adat, maka itu bukan transisi yang adil.
Sudah saatnya pemerintah, industri, dan masyarakat sipil duduk bersama, membangun kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan sejati. Karena pada akhirnya, tidak ada baterai kendaraan listrik yang cukup mahal untuk menebus hilangnya surga bernama Raja Ampat.
“Kalau kita biarkan hutan dan laut rusak, kita kehilangan identitas dan masa depan. Raja Ampat bukan milik kami saja, tapi milik dunia. Kami hanya menjaganya,” – Ronisel Mambrasar.
Penulis: Aninggelldivita Chintysihasananda
Stop Wariskan Sampah, Ekosistem Kelautan Adalah Masa Depan