Sedih Tak Bisa Berbagi Rezeki Saat Lebaran, Kondisi Perekonomian Indonesia Yang Sedang Tidak Baik, Khususnya Bagi wiraswasta, korban PHK dan Buruh
Lebaran seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan dan kebersamaan. Namun, bagi sebagian pemudik tahun ini, perayaan Idul Fitri justru diwarnai rasa sedih dan kecewa karena mereka tidak bisa memberikan uang kepada orang tua, keluarga, dan keponakan mereka akibat kondisi ekonomi yang sulit.
EXPOSE NET | Jakarta, Hari Raya Idul Fitri, yang biasanya diwarnai dengan sukacita dan kebersamaan, tahun ini menjadi momen yang penuh dilema bagi sebagian pemudik. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah menyebabkan banyak dari mereka tidak dapat memenuhi tradisi memberikan uang THR atau salam tempel kepada orang tua, keluarga, dan keponakan di kampung halaman.
Tradisi bagi-bagi uang , THR atau salam tempel sendiri merupakan bagian penting dari perayaan Lebaran di Indonesia. Memberikan amplop berisi uang kepada anggota keluarga yang lebih muda dan orang tua adalah cara untuk menunjukkan kasih sayang, rasa hormat, dan berbagi rezeki. Namun, kondisi ekonomi yang sulit membuat banyak pemudik merasa sedih dan bersalah karena tidak dapat melakukan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kisah serupa dialami oleh banyak pemudik, Kenaikan harga kebutuhan pokok, pemutusan hubungan kerja, dan penurunan pendapatan membuat mereka harus memprioritaskan kebutuhan dasar. Akibatnya, alokasi dana untuk THR atau salam tempel terpaksa ditiadakan.
Seperti yang dialami oleh Iding (51), seorang wiraswasta di Jakarta yang tahun ini harus pulang ke kampung halamannya Cirebon dengan kondisi keuangan yang terbatas. Iding mengaku biasanya bisa memberikan uang kepada orang tuanya sebagai bentuk bakti dan berbagi rezeki kepada para keponakannya, namun tahun ini keadaan tidak memungkinkan.
“Tahun ini berat sekali. Jangankan untuk salam tempel, untuk ongkos mudik saja saya harus berhemat,” ujar Iding, seorang perantau dari Cirebon yang bekerja di Jakarta.
“Biasanya, saya selalu memberikan sedikit rezeki untuk orang tua dan keponakan. Tapi sekarang, saya hanya bisa membawa diri,” tambahnya.
“Penghasilan saya sudah pas-pasan untuk kebutuhan sehari-hari. Ditambah harga kebutuhan pokok naik, ongkos mudik juga mahal. Saya jadi tidak bisa memberikan uang seperti biasanya,” ujar Didi dengan nada lirih.
Kondisi ini tidak hanya dialami oleh Iding, banyak pemudik lain yang merasakan hal serupa. Kenaikan harga bahan pokok, biaya transportasi yang melonjak, serta kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih membuat banyak perantau kesulitan untuk menabung atau menyisihkan uang bagi keluarga di kampung halaman.
Didi (29), seorang buruh di Jakarta, juga merasakan tekanan yang sama. Ia biasanya bisa memberikan “angpau” kepada keponakan-keponakannya saat Lebaran, tetapi tahun ini ia harus lebih berhemat.
“Rasanya sedih sekali karena tidak bisa berbagi seperti biasanya. Tapi saya tetap bersyukur bisa pulang dan berkumpul dengan keluarga, itu sudah cukup berharga buat saya,” kata didi.
Menurut pengamat ekonomi, kondisi sulit yang dialami pemudik tahun ini adalah dampak dari ketidakstabilan ekonomi, inflasi, serta meningkatnya biaya hidup yang semakin membebani masyarakat kelas menengah dan bawah.
“Saat ini daya beli masyarakat memang menurun. Banyak yang fokus pada kebutuhan pokok saja, sehingga hal-hal seperti berbagi uang saat Lebaran menjadi sesuatu yang sulit dilakukan,” ujar analis ekonomi dari sebuah lembaga riset di Jakarta.
“Saya sedih tidak bisa melihat senyum keponakan-keponakan saya saat menerima uang dari saya. Tapi, saya juga tidak mau berbohong soal kondisi keuangan saya,” kata Nining, seorang ibu rumah tangga yang mudik ke kampung halamannya di Cirebon.
Banyak pemudik / perantau yang tetap berusaha menikmati momen Lebaran dengan cara lain walau bersedih. Kebersamaan dengan keluarga tetap menjadi prioritas, meskipun dalam kondisi ekonomi yang penuh tantangan.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi telah mengubah makna Lebaran bagi sebagian orang. Tradisi Memberikan uang THR atau salam tempel yang biasanya menjadi simbol kemurahan hati dan kebersamaan, tahun ini menjadi pengingat akan sulitnya kondisi yang dihadapi banyak keluarga di Indonesia.(*)
Penulis : Aninggell