Sanksi Pencopotan Jabatan Tak Bikin Jera, Pelanggaran Tetap Berulang
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pejabat tinggi hingga aparat penegak hukum telah dicopot dari jabatannya karena terjerat kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga pelanggaran kode etik. Namun, tindakan ini tidak serta-merta menghentikan praktik serupa di lingkungan birokrasi.
Pengamat kebijakan publik Fahria Alfiano, menilai bahwa pencopotan jabatan hanyalah sanksi administratif yang tidak cukup kuat untuk mencegah pejabat lain melakukan hal serupa.
kembali masuk ke dalam sistem dengan cara lain,” ujarnya pada awak media melalui sambungan seluler, pada Sabtu (15/3/2025) “Ketika seseorang hanya dicopot dari jabatannya tanpa sanksi lebih berat seperti hukuman pidana atau denda yang signifikan, maka mereka tetap bisa
Salah satu contoh nyata adalah kasus yang menimpa beberapa kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi. Meskipun mereka telah diberhentikan dari jabatannya, praktik korupsi di wilayah tersebut tetap berlanjut dengan modus yang berbeda.
Sebagian pihak menilai bahwa ketidakmampuan sanksi administratif dalam memberikan efek jera disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum.
kembali ke jabatan publik di masa mendatang,” tambah dia “Sistem harus dibuat lebih ketat. Bukan hanya pencopotan jabatan, tetapi juga pemblokiran akses bagi pelaku agar tidak bisa
Dia menegaskan bahwa selain pencopotan jabatan, perlu ada reformasi sistem dan transparansi dalam birokrasi.
kembali ke sistem pemerintahan,” tegasnya. “Jika ingin memberikan efek jera, maka hukuman harus lebih berat dan ada pengawasan yang berkelanjutan. Kita harus memastikan bahwa tidak ada ruang bagi pelaku untuk
Masyarakat pun berharap agar pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang lebih tegas agar pelanggaran serupa tidak terus terjadi. Tanpa adanya penegakan hukum yang ketat dan sanksi yang benar-benar menimbulkan efek jera, pencopotan jabatan hanya akan menjadi formalitas belaka tanpa dampak nyata dalam pencegahan pelanggaran.(*)
Editor : Aninggel